A. LATAR BELAKANG
Telah terjadi peristiwa luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur pada Tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00, karena terjadinya kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji perusahaan PT.
Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Dimana kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber kelahan warga. Semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06),
melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup, dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, begitu pula dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan data yang didapat WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa.
Didalam kasus luapan Lumpur lapindo, telah terjadi juga aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dimana PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat dibayangkan, terdapatnya ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat.
Sampai pada era Reformasi di Tahun 2009 terhadap penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung dapat terselesaikan dengan secara damai. Kebijakan politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Dari berbagai aspek yang seharusnya merupakan tanggung jawab sepenuhnya PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada yang mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana. Lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, WALHI mengupayakan adanya cara yang ditempuh oleh masyarakat melalui DPR (Public Inquiry), guna meminta pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas Inc dari kasus tersebut.
Berkaitan terhadap kasus tersebut, Jaksa Agung dapat ditunjuk untuk mewakili korban Lumpur Lapindo melakukan menuntut terhadap PT Lapindo Brantas Inc, yang terkait dengan kejahatan Lingkungan Hidup dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas. Melalui Public Inquiry (pemberitahuan kepada masyarakat) terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab secara politik dan hukum untuk memberi ganti kerugian terhadap kasus Lumpur Lapindo tersebut.Berdasarkan fenomena-fenomena inilah penulis berusaha menuangkan fikiran, dans
erta memberikan cara berfikir dengan dasar landasan hukum yang berlaku, agar para pencari keadilan agar
tidak salah melangkah didalam menentukan sikap dalam memperjuangkan hak-haknya yang ber
dasar
kan rasa keadilan.
B. TUJUAN DAN MAKSUD
Menganalisa terhadap kasus yang terjadi dari kebocoran gas berserta luapan Lumpur panas adalah bertujuan untuk mengetahui secara mendalam dengan maksud sia
pa-sia
pa yang bertanggung jawab terhadap kasus tersebut dalam hubungan terhadap instansi terkaitan yang telah berkoordinasi dalam hal perizinan, dan terdapat statement yang menyatakan didalam pemeriksaaan yang dilakukan oleh Penyidik Polda Jawa Timur terhadap saksi ahli dari BMG, dengan menyatakan telah terjadinya kelalaian
yang merupakan kesengajaan Lapindo, akibat dari dampak besar bagi lingkungan dan kerugian cukup besar bagi masyarakat yang merupakan bencana ekologi, di Sidoarjo, Surabaya Jawa Timur.
B. KERANGKA TEORI DAN KONSEP
Kerangka Teori dan Konsep, berdasarkan Difinisi H.L.A.HART yang Menyatakan: Bahwa ”suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang berpusat kepada keajiban tertentu didalam gejala-gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat ”.
Dan terhadap “Kejahatan Korporasi“, Sally S. Simpson menyatakan “corporate crime is a type of white-collar crime”. Sedangkan Simpson, mengutip John Braithwaite, mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai“conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law”.
Achmad Santosa : (Good Governance Hukum Lingkungan : 2001)mengatakan, ”kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997 ”.
D. LANDASAN HUKUM
Kerangka dasar yaitu UU Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, TAP MPR IX/MPR/2001 Uraian 116D dan 116 E, dan Peraturan Pemerintah RI No.51 Tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan, PP No. 51 Tahun 1993 KEPMEN LH No. 10 Th 1994 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan (KEPMEN LH No. 11 Th 1994, KEPMEN LH No. 12 Th 1994, KEPMEN LH No. 13 Th 1994, KEPMEN LH No. 14 Th 1994, KEPMEN LH No. 15 Th 1994 ) ; KEPMEN LH No. 42 Th 1994, KEPKA BAPEDAL No. 056 Tahun 1994, KEPMEN LH No. 54 Th 1995, KEPMEN LH No. 55 Th 1995, KEPMEN LH No. 57 Th 1995, KEPMEN LH No. 39 Th 1996 dan KEPKA BAPEDAL No. 299/BAPEDAL/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. LIMBAH B3 (bahan berbahaya dan beracun) : PP No. 19 Th 1995, PP 12 Th 1994 tentang perubahan PP No. 19 Th 1994 ; PENCEMARAN AIR : PP RI. No. 20 Th 1990, KEPMEN LH. No. 52/MENLH/101/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair, KEPMEN LH. No. 58/MENLH/12/1995, KEPMEN LH. No. 42/MENLH/101/1996 KEPMEN LH. No. 43/MENLH/101/1996, dan PENCEMARAN UDARA : KEPMEN LH. No. 35/MENLH/101/1993, KEPMEN LH. No. Kep-13/MENLH/3/1995, KEPMEN LH. No. 50/MENLH/11/1996.
Dalam Bab IX, Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Dan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, Undang Undang No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1, dan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003.
E. METODE PENELITIAN
Didalam penulisan makalah ini, penulis hanya menggunakan data primair yang terdiri dari bahan-bahan Pengetahuan lapangan akibat dampak pencemaran yang dari akibat luapan lumpur panas disertai dengan gas beracun, serta bahan Pengetahuan Hukum primair yaitu produk-produk hukum undang-undang yang terkait yang mengatur dampak pencemaran lingkungan hidup, yang terdiri dari Kebijakan Dasar dan Kebijakan Pemberlakuan dari kebijakan pemerintah didalam menjalankan kekuasaannya, dan berupa bahan-bahan dari arikel di Web Site dan media cetak lainya yang berkaitan dengan judul makalah tersebut diatas.
F. PERUMUSAN MASALAH
Terdapat beberapa permasalahan yang sering diabaikan, didalam penerapan hukum terhadap dampak pencemaran lumpur lapindo yang didalam prakteknya belum memenuhi rasa keadilan :
1. Apakah yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan, terhadap suatu badan hukum/Perusahaan yang sudah menganggap peusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit dapat terlepas dari kewajiban untuk membayar dari pihak-pihak yang dirugikan tersebut ?
2. Jika memang demikian sampai seberapa jauhkah tanggung jawab dari pemerintah untuk mencari solusi dalam masalah korban lumpur lapindo, jika melihat keterkaitan dari Instansi Pemerintah yang telah memberi ijin terhadap perusahaan yang melakukan pemboran gas tersebut ?
3. Mengapa gugatan dari korban lumpur lapindo tidak melalui gugatan Class Action yang dalam hal ini diwakili oleh suatu Yayasan yang berbentuk Badan Hukum/ Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia atau yang sejenisnya ? mengingat gugatan Class Action harus diwakili oleh Suatu yang berbentuk Badan Hukum ?
G. ASUMSI
Asumsi sementara dari penulisan makalah dari ini, adalah sebagai berikut :
1. Jika luapan Lumpur lapindo di difinisikan sebagai bencana alam, maka kerusakan yang terjadi tersebut tidak didasari adanya suatu kegiatan disekitar lokasi/obyek bencana tersebut, bukanlah disebabkan oleh suatu bencana yang terjadi karena proses alam, akan tetapi luapan Lumpur lapindo berserta dengan gas beracun adalah disebabkan karena ketidak hati-hatian dari manusia, karena adanya kegiatan pemboran, yang seharusnya proses didalam pengerjaannya pemboran tersebut harus sesuai dari apa yang tertuang didalam proposal kegiatan pemboran dengan melalui suatu penelitian yang terperinci dan sedetail-detailnya.
2. Kegiatan pemboran yang dilakukan oleh suatu badan hukum yang mendapat ijin dari Pemerintah terkait, dan jika perusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit yang dengan melalui prosedur peradilan yang menyatakan perusahaan tersebut dinyatakan pailit dengan suatu penetapan, maka dalam hal ini sudah seharusnya Pemerintah terkait yang memberi ijin tersebut (berdasarkan Proposal), harus mencarikan solusi atau jalan keluar untuk kehidupan masyarakat yang terkena bencana lumpur lapindo tersebut. Pemerintah yang terkait, yang berdasarkan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan dari kasus luapan Lumpur lapindo, maka berdasarkan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan sudah dianggap telah tidak melaksanakan amanat dari UU Dasar 1945 dan UU Hak Asasi Manusia (Konfensi Intenasional), yang telah mengenyampingkan produk hukumnya sendiri yaitu UU tentang Lingkungan Hidup (AMDAL) dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan bencana tersebut.
LUAPAN LUMPUR LAPINDO DIDASARI KEPADA METODE PENDEKATAN DAN FUNGSI HUKUM
Peristiwa luapan Lumpur lapindo disebabkan karena terjadinya kelalaian atau human error didalam melakukan pengeboran disidoarjo, Surabaya Jawa Timur.
A Peristiwa Terjadinya Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo.
Peristiwa luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur yang terjadi pada tanggal 28 Mei 2006 kira-kira pukul 22.00, disebabkan kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Dimana kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan warga. Semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06) melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup, dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, begitu pula dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan data yang didapat WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa.
Bencana luapan Lumpur lapindo didasari aspek politis, yang merupakan sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), dimana Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam.Berdasarkan poin tersebut dalam kaitannya pada kasus luapan lumpur panas, pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya, dimana seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem. Di Jawa Timur saja, tercatat banyak kasus bencana yang diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang migas, seperti contoh kasus pada kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan 26 petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak mentah (2002) karena eksplorasi Premier Oil.18, yang terakhir tepat 2 bulan setelah tragedi semburan lumpur lapindo Sidoarjo, sumur minyak Sukowati Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar. Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur minyak Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo, mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran. Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam perspektif Kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi setiap kasus pada dampak pencemaran lingkungan hidup.
B. Timbul Dampak Akibat Pencemaran Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo.
Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik jika menumpuk di tubuh dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker, mengurangi kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air terdapatnya fenol berbahaya untuk kesehatan dan kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan.
Dalam Kasus Luapan Lumpur Lapindo dapat dianggap sebagai Kejahatan Korporasi, sesuai dengan Landasan Hukum, dimana pada Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, diatur dalam UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup. Begitu juga dari aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang menurut Walhi, bahwa PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sampai pada saat sekarang ini, terhadap penegakan hukum atas kasus luapan lumpur Lapindo tak kunjung jelas, terdapatnya kebijakan politik yang minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat.
Berdasarkan pengamatan WALHI, dari pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, dimana WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public inquiry, yang merupakan upaya yang akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meminta pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas In dengan menugaskan Jaksa Agung dapat ditunjuk sebagai pengacara negara untuk menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait dengan kejahatan lingkungan dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas, yang disebabkan kebocoran Gas yang beracun. Ada beberapa pendapatmengenai penyebab bocornya gas yang disertai meluapnya lumpur Lapindo yang telah dijelaskan tersebut diatas.
C Fungsi Hukum Sebagai Sosial Kontrol Terhadap Dampak Pencemaran Lumpur Lapindo Sidoarjo.
Peristiwa luapan lumpur lapindo sidoarjo yang disebabkan karena tidak terdapatnya sosial kontrol serta kurangnya penerapan sangsi pidana terhadap pelanggaran dari akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup yang diatur oleh UU No. 23 Tahun 1997, dan berkaitan dengan masalah tersebut Walhi sebagai wadah pengamat yang mempunyai tugas dan fungsi terhadap lingkungan hidup yang seharusnya lebih serius untuk mengamati gejala-gejala yang terjadi di sidoarjo surabaya jawa timur. Dimana kelalaian yang telah terjadi yang menyebabkan luapan lumpur panas tersebut adalah merupakan sudah menjadi tugas pemerintah untuk melaksanakan ketentuan UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No7/2004 tentang Sumber Dyaa Air c.q PP No.42/2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air dan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana..
Sudah menjadi kewajiban dari Pemerintah terkait untuk merevitalisasi dari korban-korban serta dampak dari luapan lumpur lapindo tersebut terhadap keharusan dari PT Lapindo untuk memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita oleh masyarakat maupun perusahaan-perusahaan yang berada disekitar luapan lumpur sidoarjo, surabaya jawa timur. Terhadap suatu kejahatan korporasi dapat dituntut atau dikenakan sangsi pidana serta penuntutan ganti kerugian yang berdasarkan Undang-Undang N0. 23 Tahun 1997 tentang Lingkunga Hidup yang didalam pasal 29 ayat 5, yang berdasarkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai upaya perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan. Kemudian dalam pasal 30 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa, dengan maksud untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai suatu sengketa lingkungan hidup dan untuk menjamin kepastian hukum.
D. Sangsi Hukuman Berupa Tuntutan Sangsi Pidana dan Perdata serta Sangsi Administratif Terhadap Badan Hukum yang telah Melakukan Kelalaian.
Terdapatnya aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3, yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tak bisa dibayangkan, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat.Yang sampai sekarang terhadap penegakan hukum atas kasus luapan Lumpur Lapindo tak kunjung ada kejelasannya. Dan terhadap pertanggung jawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau yang nyata, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.
Melihat kepada data-data serta fakta-fakta pelanggaran konspiratif dalam perolehan ijin eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang asal-asalan, prediksi geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak kelirunya sehingga pelaksanaan pemboran menyimpang dari perencanaan, lalu menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan nasib masyarakat secara meluas yang ditangani dengan cara ketidakadilan, maka peristiwa itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, dengan terusirnya kelompok penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha migas Blok Brantas itu. Pelanggaran HAM berat yang dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : … d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; …” Penegak HAM harus memahami tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi `pelanggaran HAM berat´ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu : “Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health”.
Sebagimana pengaturan sanksi hukumam terhadap bencana luapan Lumpur panas Lapindo sidoarjo, dapat diancam hukuman sebagai mana yang diatur pelakudalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai dengan Pasal 48. Dan terhadap sangsi administrasi adalah merupakan sebagai hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup, yang berupa pencabutan perizinan usaha/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan berakibat usaha/kegiatan tersebut berhenti secara total, dengan berkewajiban memulihkan kembali lingkungan hidup yang telah tercemar atau yang telah hancur akiban luapan lumpur panas sidoarjo yang sampai sekarang belum dapat diatasi..
Sedangkan terhadap sanksi pidana adalah merupakan sebagai hukuman yang dilakukan dengan sengaja, kealpaannya, kelalaian atau informasi palsu melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau pengrusakan akibat jebolnya tanggul dapat di ancam pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun atau sampai seberat-beratnya 15 tahun atau denda sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp. 500.000.000,- sesuai dengan tingkat pelanggaran/kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha lingkungan hidup dalam hal ini pemerintah terkait. Sesuai dengan kasus luapan lumpur panas lapindo, dimana pada kasus tersebut adalah sebagai akibat tidak terealisasikannya landasan hukum serta social kontrol pengawasan terhadap dampak luapan lumpur lapindo dalam kaitannya terhadap pencemaran terhadap lingkungan hidup, terutama pada instansi terkait yang telah memberi perizinan terhadap pemboran disidoarjo tersebut.
Walaupun sudah jelas pengaturan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup yang merupakan sebagai payung hukum untuk melandasi segala kegiatan yang membawa dampak lingkungan hidup, yang sudah pasti akan berdampak negatif terhadap kehidupan manunusia, begitu pula terhadap pengaturan sanksi administrative dan sanksi pidananya.
E. Gugatan Class Action Sebagai Upaya untuk Melaksanakan Penuntutan Terhadap PT.Lapindo di Sidoarjo
Tindakan Gugatan Class Action dimana dasar hukum yang diajukannya adalah pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.”? Untuk dapat dikatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum berdasar Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan melawan hukum.
2. Adanya unsur kesalahan.
3. Adanya kerugian.
4. Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian disebabkan oleh kesalahan seseorang.
Terdapat unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan melawan hukum memenuhi unsur-unsur yang dianggap :
1. Bertentangan dengan hak orang lain.
2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
3. Bertentangan dengan kesusilaan.
4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam perkara ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tergugat adalah yang bertentangan dengan hak orang lain dan kewajiban hukumnya sendiri. Berkaitan dengan kasus tersebut, banyak masyarakat konsumen merasa dirugikan dengan masalah kualitas pelayanan. Mengenai masalah kualitas pelayanan, pihak Komparta telah melakukan riset di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Dari kelima wilayah, pihak Komparta menemukan bahwa banyak konsumen air minum yang dirugikan khususnya dengan adanya berbagai persoalan mengenai kualitas pelayanan yang tidak memadai. Kedua, masalah teknis juga terkadang dialami oleh para konsumen.
Masalah teknis itu seperti masalah indikasi kebocoran dan juga selain itu juga mengenai persoalan aktivitas dari pihak perusahaan air minum itu banyak merugikan masyarakat atau lingkungan sekitarnya, misalnya dalam persoalan mengenai penanaman pipa, kelambanan memperbaiki galian. Semua hal itu melandasi bahwa masyarakat konsumen ini banyak mengalami kerugian-kerugian selama pelayanan-pelayanan maupun dari sisi kebijakan-kebijakan yang dilakukan dan juga dirasakan oleh masyarakat konsumen. Menyalahi UUPKI ? Menanggapi gugatan itu, kuasa hukum para tergugat dari kuasa hukumnya Gubernur DKI jakarta dan DPRD DKI Jakarta menilai bahwa gugatan yang dilayangkan LSM Komparta tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dimana kuasa hukum tergugat mendalilkan pendapatnya pada pasal 46 ayat (1) UUPK. Berdasarkan ketentuan ini gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh (1) seorang konsumen; (2) sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; (3) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, dan (4) pemerintah atau instansi terkait. Tergugat sepakat bahwa gugatan Komparta dapat dikategorikan sebagai gugatan yang diajukan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Namun, gugatan tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagai gugatan class action. Berdasarkan pasal 46 ayat (1) huruf UUPK, lembaga konsumen swadaya masyarakat (yang mengajukan gugatan) haruslah berbentuk badan hukum atau yayasan.
Berdasarkan penelusuran tergugat, Komparta baru dideklarasikan pada 21 Maret 2003 dan beranggotakan 17 orang, dimana organisasi tersebut memang mempunyai struktur kepengurusan, anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga. Tetapi dari segi yuridis, Komparta belum masuk kategori badan hukum atau yayasan. Sebab, ternyata Komparta baru terdaftar di kantor notaris di Jakarta. Sudaryatmo, Divisi Litigasi YLKI, berpendapat bahwa ketentuan pasal 46 di atas harus dilihat sebagai upaya pembuat undang-undang menciptakan lembaga konsumen swadaya masyarakat yang baik. Lembaga yang mewakili konsumen harus benar-benar menunjukkan kiprahnya sehingga layak disebut mewakili konsumen.Seingat Sudaryatmo, ketentuan di atas merujuk ketentuan serupa di Belanda. Di lembaga konsumen yang menggugat mewakili konsumen harus secara riil membuktikan kiprahnya. Status organisasi harus mencantumkan kegiatan mereka di bidang perlindungan konsumen.
Namun demikian dalam putusan sela pertama, hakim menolak eksepsi dari para pihak tergugat tersebut, demikian juga pada sebelum putusan akhir dibacakan majelis hakim pun menolak materi eksepsi dari. Para Tergugat berpendapat dalam eksepsinya bahwa gugatan Penggugat seharusnya dilayangkan ke PTUN, bukan ke Pengadilan Negeri, sehingga pada akhirnya majelis hakim mengabulkan tuntutan dari para pihak Penggugat yang diwakili oleh LSM Komparta tersebut. Berkaitan dengan kasus-kasus class action tersbut diatas dan juga perkara Class Action yang ada di Indonesia, seperti pada sidang gugatan Class Action Korban Tahun 1965. Pada sidang gugatan class action korban-korban orde baru pada tahun 1965 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/diganggu sekelompok orang yang mengatas namakan kelompok keagamaan dan nasionalisme. Sunarno, 71 tahun eks tapol yang saat ini menjadi Dewan Pengurus Pusat Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965, menyatakan hanya menuntut hak mereka dan tidak ingin macam-macam. “Kami merasa tidak bersalah tapi dipersalahkan begitu saja,”katanya. Selain itu menurut Sunarno kedatangan eks tapol-napol secara berombongan bahkan dari daerah pada acara persidangan tersebut dikarenakan mereka ingin mengetahui pengadilan tersebut akan meluruskan orang-orang yang tidak pernah dinyatakan salah dalam pengadilan. “Kalau salah, ya, salah, tapi biar nanti pengadilan yang menentukan. Menanggapi sikap sekelompok orang yang mendomo gugatan para korban kekejaman orde baru itu, Sunarno hanya bisa sabar. “Terserah itu hak mereka, kami menghormati hak orang, jadi hargailah kami, kami juga berhak mengajukan gugatan lebih baik saling menghargai hak masing-masing,”katanya. Dan senada dengan perkataan tersebut, Toga Tambunan menyatakan harapannya agar haknya sebagai Warga Negara dikembalikan. “Kami mengharapkan keadilan dari sisi ekonomi, sosial dan budaya dipulihkan, paling tidak kita setara dengan masyarakat umum dalam perkara hukum,” ujarnya. Menurut Toga, dia pada usia 13,5 tahun ditahan tanpa pernah diadili dan itu merupakan kerugian besar bagi seseorang yang di penjara. “Kami dipenjara tapi tidak tau apa dan siapa yang melakukan hal ini padahal dari sisi hukum mestinya yang bersalah yang dituntut,” Sebenarnya kejahatan orde baru di bawah Suharto bukan hanya terjadi pada orang-orang yang disebut PKI, tetapi juga terhadap ummat Islam dan kelompok-kelompok yang menentang pemerintah diktatorial dan korup.
Berkaitan dengan kasus-kasus tersebut, penulis mengutip penyataan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI, dalam Pengarahan pada Rapat Kerja Nasional Tahun 2008 di Jakarta, Mengenai kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan kasus Class Action, dimana adanya gugatan yang diajukan oleh beberapa orang mewakili orang banyak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Pejabat TUN. Gugatan dimaksud adalah gugatan perwakilan kelompok (class action), namun permasalahannya adalah apakah sengketa tersebut merupakan sengketa TUN yang timbul karena dikeluarkannya keputusan TUN. Dimana keputusan TUN, menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Pada intinya, bahwa keputusan TUN yang disengketakan itu harus bersifat konkrit, individual dan final (kif). Dalam suatu gugatan class action, wakil kelompok yang mengajukan gugatan bukan saja bertindak untuk diri mereka sendiri tetapi juga anggota kelompok yang jumlahnya banyak yang identitasnya ada yang belum diketahui. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa Penggugat dalam suatu gugatan haruslah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN yakni penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final. Keputusan TUN yang bersifat individual adalah keputusan TUN yang tidak ditujukan untuk umum, melainkan tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jika yang dituju tersebut lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu harus disebutkan. Berdasarkan yang telah uraian, gugatan class action tidak dimungkinkan pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN).
Terdapatnya titik singgung dengan Peradilan Umum, dimana Seringkali gugatan pembatalan suatu sertifikat tanah diajukan oleh seseorang (yang tidak menguasai tanah sengketa) yang merasa kepentingannya dirugikan karena dikeluarkannya sertifikat tanah dimaksud atas nama orang lain. Dalam sengketa sertifikat tanah tersebut Hakim haruslah berhati-hati dengan benar-benar mempertimbangkan apakah sengketa tersebut adalah sengketa TUN ataukah sengketa kepemilikan atas tanah dimaksud yang menjadi kompetensi Peradilan Umum untuk memeriksa dan memutusnya. Yang seyogyanya Peradilan TUN dalam memeriksa dan memutus gugatan tentang sertifikat tanah berpegang teguh pada ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 yakni : a. Apakah keputusan TUN yang digugat (i.c. sertifikat tanah) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Apakah keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam permaslahan ini, Hakim harus juga memperhatikan Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, antara lain keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN menurut undang-undang tersebut. Kebijakan Hukum yang harus diambil, pada tanggal 9 September 2006, Presiden telah menandatangani surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yang didalamnya menyebutkan tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil dan Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjan Umun, dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan dan seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas.
Dilakukan penahanan terhadap tersangka, Polda Jawa Timur telah menetapkan 12 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 1 orang dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. PT Tiga Musim Jaya terkait kasus Lapindo karena ia merupakan penyedia operator rig (alat bor). Dimana tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara, yang secara otomatis UU pencemaran lingkungan hidup ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan hidup.
ANALISA PERMASALAHAN
Menganalisa Faktor Internal.
Sebagai jawaban dari perumusan masalah yang secara factor internal, penulis berusaha menganalisa permasalahan badan hukum/Perusahaan yang sudah menganggap perusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit dapat terlepas dari kewajiban untuk membayar dari pihak-pihak yang dirugikan tersebut,jika dengan berdasarkan suatu putusan pengadilan yang didalam pertimbangannya bahwa PT. Lapindo dianggap pailit, akan tetapi PT. Lapindo tersebut tidak terlepas dari kewajiban untuk tetap memberi ganti kerugian kepada masyarakat maupun perusahaan yang mengalami kerugian akibat kecerobohan maupun kelalaian dari Kegiatan pemboran gas tersebut. Karena mengingat setiap ekplotasi dari pemboran gas tersebut sudah pasti telah dilakukan jaminan asuransi lokal maupun asuransi internasional.
Berkaitan dengan masalah pertanggung jawaban dari akibat luapan Lumpur lapindo, yang harus bertanggung jawab adalah selain PT. Lapindo, juga Pemerintah Daerah (Gubernur) dan Pemerintah Pusat, yang harus segera mencari solusi atau jalan keluarnya, sebagai penanggulangan dari dampak pencemaran luapan Lumpur lapindo, sidoarjo. Hal mana yang keterkaitan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, didalam hal pemberian izin, yang baik berdasarkan kebijakan ekonomi maupun kebijakan politis, baik secara internal adalah berupakan sebagai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan dari Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat. Karena jika kita melihat ketentuan dari UU No. 23 Tahun 1997 yang telah diuraikan diatas, yang bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian kepada korban luapan Lumpur panas sidoarjo adalah sudah merupakan kewajiban dari badan hukum maupun pemerintah yang terkait yang menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan hidup.
Sehubungan dengan gugatan Class Action yang diwakili oleh suatu Yayasan yang berbentuk Badan Hukum/Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia, yang berdasarkan pada dasar-dasar Ilmu Psikologis, Ilmu Hukum Pidana maupun Perdata, Politik Hukum, Hak Asasi Manusia, Lingkungan Hidup dan pandangan Filsafat Hukum, dimana terhadap korban lumpur lapindo dapat dimungkinkan melakukan gugatan Class Action yang dalam hal ini diwakili oleh suatu Yayasan/Badan Hukum yang telah mendapat ijin dari Pemerintah dengan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri. Melihat dari kasus tersebut bahwa gugatan Class Action adalah yang dianggap paling efektif untuk menyelesaikan kasus korban Lumpur Lapindo, karena dari aspek-aspek keilmuannya telah terbuktinya telah memenuhi berbagai unsur, yang dapat menjadi dasar tuntutan/gugatan ganti kerugian bagi para korban luapan lumpur lapindo sidoarjo. Dengan tidak terlepas pula dari unsur-unsur pidana yang dapat dibebankan hukuman yang berlapis, seperti Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Tindak Pidana Korporasi sesama instansi terkait, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain sebagainya.
Menganalisa Faktor Eksternal.
Jika terhadap realisasi yang berdasarkan factor internal, tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya didalam hal mengenai pengganti kerugian dari para korban luapan Lumpur Lapindo, Sidoarjo maka secara factor eksternal dimana pandangan dari dunia internasional bahwa terhadap penerapan sistim hukum di Indonesia, belum dapat dikatakan menjamin kepastian hukum. Mengingat terhadap kasus yang sudah jelas-jelas terlihat adanya pelanggaran (secara factor internal) yaitu adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia, Tindak Pidana Korporasi sesama instansi terkait, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Tindak Pidana Korupsi. Maka sudah dapat dipastikan Negara Indonesia akan mendapat kecaman dari dunia Internasional karena tidak menjalankan dari apa yang sudah merupakan hasil keputusan konfensi Internasional. Dan sudah barang tentu pula akan membuat resah atau adanya keragu-raguan dari para infestor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, karena melihat bahwa undang-undang yang berlaku di Indonesia tidak dapat menjamin terciptanya kepastian hukum.
K e s i m p u l a n.
1. Lingkungan Hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan lingkungannya yang selaras dengan Wawasan Nusantara, didalam rangka mendayagunakan sumber daya alam serta untuk memajukankesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UU Dasar 1945, yang didasari dan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 1982 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan Cq UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
2. Sebelum terjadinya luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, ekosistem serta infrasutruktur di Sidoarjo sangat baik, dimana kegiatan perekonomian berjalan lancar. Lingkungan hidup disekitar masyarakat sidoarjo tertata sesuai dengan ketentuan Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Kesejahteraan perekonomian sangat baik walaupun berjalan sangat lambat, akan tetapi terhadap swasembada pangan terutama dibidang agrobisnis di sekitar wilayah sidoarjo Surabaya berjalan lancar sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945.
3. Berdasarkan Pendekatan Intrumental, dimana pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimana bagi setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. secara faktor eksternal, terhadap penggantian kerugian terhadap dari para korban luapan Lumpur lapindo, sidoarjo, maka akan membawa dampak negatif karenapandangan dari dunia internasional yang berkaitan dengan melihat dari kasus lumpur lapindo yang sampai pada saat sekarang ini masih belum dapat diselesaikan baik semburan lupunya maupun dalam hal penggantia kerugian terhadap para korban luapan lumpur lapindo tersebut.